Why Wai?



“I’ve told you! I’ve told you” Wai mondar-mandir, mengatakan hal yang sama ribuan kali.
Aku memandangnya, dengan tatapan yang masih sama sejak sejam yang lalu.
“putusin dia” kali ini mukanya serius sekali, seolah-olah memintaku untuk memutuskan antara hidup dan mati.
“ssstt…” aku memejamkan mata, menghela nafas panjang, lalu memintanya untuk mendekat.
“listen..” aku menunjuk ke arah jantungku. “listen its beats”
Dia mundur, lalu meringkuk di pojokan, persis seperti anak anjing yang ketakutan.
“Aku bersalah.. aku bersalah..” teriaknya panik, air mata mengalir satu-persatu melewati pipinya. Aku memeluknya, mencium aroma sama dari rambutnya, aroma strawberry yang selalu memabukkan.
“bukan kamu, tapi kita. Kita yang salah” Aku mencoba membuatnya tenang, tapi matanya tetap jalang, antara kemarahan dan luka.
“Aku hanya mencoba melindungi kamu” ucapnya lirih, diselingi isakan yang tidak berhenti.
Aku mengangguk, terpejam, flashback pada semua hal yang baru saja terjadi.

“Dari dulu semua orang melukaiku, tidak pernah menganggap aku penting” wanita di hadapanku memandangku dengan penuh kemarahan.
Aku menghela nafas panjang, menghitung mundur dari 5 sampai 1, hal yang selalu aku lakukan ketika emosi mulai tidak terkendali.
“Dengar, semua orang mencintaimu, tapi kamulah yang selalu tidak pernah percaya bahwa mereka mencintaimu, termasuk aku” aku mencoba sesabar mungkin. Wai mulai berteriak-teriak memohon untuk keluar, aku kembali menarik nafas, menghitung lagi dari 5 sampai 1. Aku sudah sangat marah dan tidak ingin memperparahnya dengan membiarkan Wai mempengaruhiku.
“Bullshit, kamu dan semua orang sama saja” Wanita di hadapanku berteriak, persis di depan mukaku
“Maka kamu tau siapa yang harusnya mengintrospeksi diri, tidak mungkin aku dan orang lain melakukan hal yang sama padamu tanpa sebab”
Wanita itu memandangku tajam, genderang permusuhan telah di tabuh, dan aku tidak mungkin menghentikannya, aku tahu itu.
“Bangsat, biarkan aku bicara!!” Wai berteriak di telingaku.
“Aku kasian sama kamu!” Kali ini Wai berkata pada wanita itu, dengan tajam, dengan ekspresi yang membuat siapapun yang melihat ingin menyiramnya dengan air keras.
Wanita di hadapanku memicingkan matanya “apa kamu bilang?!” teriaknya tiba-tiba, dengan 1 tangan yang mencekik leherku.
Seketika aku limbung, tidak kuat menahan berat tubuhnya yang jauh lebih besar dariku. Tangannya masih menekan leherku, dengan kemarahan yang mencoba untuk dilampiaskan.
“Apa kamu bilang” Dia mengulangi kata-katanya, dengan muka yang sangat dekat dengan mukaku.
Wai tersenyum menyaksikan adegan itu “kasihan deh lu” ucapnya menghina.
Wanita di hadapanku melepas tangannya, aku terbaring di lantai, Wai masih dengan senyumnya yang sama.
“Kasihan deh lu” Wai berucap, yang kemudian diikuti dengan cekikan dileherku, yang terakhir aku lihat adalah kebencian pada mata wanita di hadapanku, dan tekanan pada leherku.
“Bangsat!” Wai menarikku, mengambil helm putih yang tergeletak di sebelahku dan memukulkannya ke kepala wanita dihadapanku.
Wanita itu terjengkang, Wai tidak memberikan kesempatan padanya untuk membalas, pukulan kembali di arahkan bertubi-tubi ke kepalanya. Wai kalab, aku memejamkan mata, menarik nafas, menghitung dari 5 sampai 1.
Dan tanpa ampun Wai menendang perempuan itu dari belakang, memukulnya, menamparnya berkali-kali, tanpa henti.
“aku tidak akan membalas” perempuan itu terdiam, dengan muka yang memerah, entah dengan kesakitan yang tidak bisa aku bayangkan.
“Aku pelacur, hah?!” Wai kembali berteriak, menamparnya, memukulnya.
Aku mundur, menjauh, merasakan sakit yang teramat sangat. Hatiku telah dicabik, wanita yang aku cintai sedang menangis, menahan sakit, dengan luka yang bukan hanya didada, tapi juga di tubuhnya.
Wai berhenti, memandang semua kekacauan yang telah di timbulkannya. Tidak ada seorangpun yang boleh diperlakukan dengan kasar, tidak boleh ada wanita yang dilukai.. dan aku melihat dia, wanita dihadapanku, kekasihku, jantung hatiku.. mengalami semua itu.

“Tampar aku, pukul aku, kalau perlu potong tanganku” Wai memohon
Aku menggeleng, menarik tangannya dan meletakkannya ke dadaku.
“Lihat, Wai, rasakan.. Jantungku sudah berhenti berdetak” ucapku.
“Ini semua salahku” dia memandangku, matanya redup.
“Ssst.. pergilah, aku yang akan menyelesaikan ini” aku tersenyum, tipis, lelah dan kesakitan juga.

Kamarku malam itu kosong, berantakan. Aku meringkuk di salah satu sudutnya. Air mataku telah berhenti mengalir, bahkan telah mengering, tapi aku belum berani bergerak. Udara disekelilingku berwarna pucat, membuatku yakin bahwa dengan menghirupnya saja darahku akan berhenti mengalir.

“aku tidak pernah bisa mentolerir seseorang yang berani menyakiti wanita secara fisik” ucapanku bertahun-tahun lalu kembali terngiang, diputar di otakku seperti rekaman.

Aku memandang tanganku, masih panas dan perih, bahkan kulit dan rambut kekasihkupun masih terasa disitu.

0 komentar: